Upacara Kehamilan “Nujuh Bulanin” di Daerah Betawi


Upacara kehamilan dilakukan sebagai upaya memberitahukan kepada masyarakat, tetangga-tetangga dan kerabat keluarga, bahwa seorang wanita sudah betul-betul hamil dan akan melahirkan ketu¬runan. Selain itu, juga mengandung harapan agar ibu yang me¬ngandung dan bayi yang dikandungnya mendapat keselamatan.

Kepercayaan yang berkenanan dengan siklus hidup idividu seperti upacara "nujuh bulanan" ini masih kuat melekat pada orang Betawi di Kampung Bojong. Mereka percaya bahwa upacara "nujuh bulanin" perlu dilakukan demi keselamatan ibu dan anak yang dikandungnya. Selain itu mereka juga percaya bahwa upacara nujuh bulanin merupakan penangkal agar anak yang akan dilahir¬kan kelak patuh kepada orang tuanya dan tidak nakal.

Upacara "nujuh bulanin" di lakukan pada saat mengandung pertama, dan usia kandungannya sudah tujuh bulan. Karena itulah upacara ini disebut "nujuh bulanin". Pada kehamil¬an kedua dan seterusnya tidak dilakukan upacara semacam ini lagi.

Upacara ini selalu menggunakan sajian, dan salah satu sajian yang terpenting adalah bunga yang berjumlah tujuh macam. Bunga ini bermakna bila bayi yang lahir kelak laki-laki akan da¬pat membawa nama yang harum bagi orang tuanya sebagai harum¬nya bunga, dan kalau bayi tersebut wanita, supaya cantik seperti cantiknya bunga. Menurut kepercayaan mereka, sajian terutama bunga harus lengkap, apabila sajian tidak lengkap kemungkinan besar bayi akan lahir dengan sulit atau setelah dewasa nanti, si anak tidak menurut kepada orang tua.

Upacara Kekeba : Upacara Nujuh Bulanin
Salah satu upacara tradisional yang berkaitan dengan masa kehamilan pada masyarakat Betawi ialah upa¬cara "kekeba"atau "nujuh bulanin"."Nujuh bulanin" asal dari ka¬ta 'tujuh bulan', maka dan itu upacara ini selalu dilakukan pada bulan ketujuh kehamilan. Diambil pada bulan ketujuh karena pada usia kehamilan tersebut janin dianggap telah sempurna, sudah ber¬bentuk dan sudah diberi roh oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menyatakan rasa bersyukur kepada Tuhan, maka dilaksanakan upacara ini.

Maksud dan Tujuan Upacara
Upacara "nujuh bulanin" atau "kekeba" dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan rasa aman serta mensyukuri nikmat Tuhan, dan memohon keberkahan kepada Tuhan atas dikarunia¬nya anak, dengan harapan anak yang akan dilahirkan mendapat keselamatan dan kelak menjadi anak yang saleh, berbudi pekerti luhur, dan patuh kepada orang tuanya.

Waktu Penyelenggaraan Upacara
Waktu penyelenggaraan upacara "Nujuh Bulanin" ditetapkan menurut perhitungan bulan Arab dengan berpatokan pada bilang¬an 7. Upacara ini dilakukan pada bulan ketujuh kehamilan. Tang¬galnya dipilih antara 7, 17, atau 27.

Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari, dimulai pada sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai. Pada waktu itu biasa diadakan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, terutama Surat Yusuf , yang diselenggarakan oleh pengajian kaum wanita. Selan¬jutnya acara mandi bagi siibu yang hamil. Memandikan biasanya dimulai oleh seorang dukun wanita, dilanjutkan oleh suami, orang tua (ibu) si hamil, mertua perempuan dan kerabat dekat hingga mencapai jumlah tujuh orang. Selesai acara memandikan, dilanjutkan dengan "ngorong"atau "ngirag".

Setelah semua acara yang pokok selesai dilaksanakan, kemudi¬an dilanjutkan dengan acara makan siang. Setelah itu acara pemba¬gian rujak kepada tamu yang hadir.

Tempat penyelenggaraan Upacara:
Upacara "Nujuh Bulanin" biasa silaksanakan di rumah yang punya hajat, apabila mereka telah memiliki rumah. Bila tempat¬nya kurang mengijinkan, adakalanya diselenggarakan di rumah orang tuanya atau di rumah mertuanya. Dukun beranak serta pem¬baca doa/kelompok pengajian ibu-ibu dipanggil supaya hadir pada hari yang telah ditetapkan.

Ruang tamu bagian depan biasa dipakai untuk tempat pemba¬caan doa yang dilakukan oleh kelompok pengajian ibu-ibu. Mereka membacakan ayat-ayat suci Al Quran, antara lain Surat Yusuf, Surat Mariam, dan lain-lain . Ruang kelauarga yang biasanya berada di tengah-tengah rumah, dipakai sebagai tempat untuk me¬Iaksanakan upacara yang dihadiri oleh sanak keluarga pihak wanita dan keluarga pihak laki-laki, tetangga yang hadir kebanya¬kan terdiri dan kaum ibu-ibu.

Kamar mandi keluarga sebagai tempat upacara wanita yang hamil. Bisa juga dipakai halaman di samping rumah. Tempat ini dipakai sekalian menjadi tempat membagikan rujakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tamu-tamu yang hadir mencicipi rujak yang disuguhkan. Bila rasa rujak sangat enak dan herkenan di hati, mereka meramalkan bahwa bayi yang akan lahir adalah seorang wanita. Adapun acara "ngorog/ngirag", tempatnya di didam kamar atau di ruangan yang tertutup.

Penyelenggaraan Teknis Upacara
Sebelum upacara dimulai, wakil dari keluarga, biasanya seorang yang dituakan dan merangkap sebagai pembawa acara, memberikan penjelasan mengenai maksud diselenggarakan upacara selamatan tersebut, serta mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada sanak keluarga serta para tamu yang hadir. Pada saat upacara berlangsung, teknis pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada seorang dukun beranak yang biasanya sudah berumur lanjut. Dukun ini menguasai benar seluk beluk mantera¬-mantera yang berhubungan dengan kehamilan, serta urut-urutan upacara dan mulai hingga selesai.

Peranan dukun beranak ini amat penting dan menempati posisi sentral dalam upacara selamatan "Nujuh Bulanin", sehingga semua yang hadir menyimak dan mengikutinya dengan seksama. Di samping sebagai penanggung jawab teknis upacara, dukun ini dibantu oleh beberapa kaum ibu yang bertugas mempersiapkan kain batik, baju, handuk, air yang ditempatkan di dalam ember dengan diberi 7 macam bunga-bungaan, gayung mandi dan se¬bagainya, untuk pelaksanaan upacara memandikan.

Kelompok pengajian dipimpin oleh seorang ibu, yang biasa juga memimpin pengajian pada acara-acara lain¬nya. Kelompok ini terdiri dari kaum ibu yang berjumlah antara 10 hingga 15 orang dengan berbusana muslim.

Pada pelaksanaan upacara ini, kaum wanita memegang peranan penting. Ini sekaligus menunjukkan unsur emansipasi dan ke¬gotongroyongan pada masyarakat Betawi. Mereka dengan senang hati membantu melaksanakan sepenuhnya kegiatan upacara tersebut sejak dimulai hingga selesai pelaksana¬annya.

Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Upacara
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara "Nujuh Bulanin" meliputi : dukun beranak, pembawa acara (biasanya seorang ibu yang dituakan), pembaca doa-doa dan ayat suci Al Quran, keluarga dan pihak istri dan dan pihak suami, para tetangga, dan tamu-tamu lainnya. Semua pihak yang tersebut ini selama berlangsungnya upacara mengikutinya hingga selesai. Keterlibatan wanita hamil yang diupacarakan, karena memang dialah pelaku utama dalam upacara ini, dan dia yang akan di¬mohonkan keselamatannya serta bayi yang dikandungnya.

Keluarga dari pihak istri dan keluarga dari pihak suami ter¬utama dan kaum ibunya, juga sangat berperanan, karena mereka yang membantu tenaga dan pikiran supaya upacara dapat ber¬langsung dengan baik.

Dukun beranak sebagai penyelenggara teknis upacara, me¬rupakan pihak yang bertanggung jawab atas terselenggaranya selamatan ini. Dukun ini bertugas sebagai penghubung untuk menyampaikan berbagai keinginan dan harapan yang punya hajat.

Kelompok pengajian ibu-ibu yang membacakan doa-doa dan ayat-ayat suci Al Quran merupakan kelompok pembantu ibu dukun beranak dalam pelaksanaan upacara ini. Salah satu ayat dari kitab suci Al Quran yang dibacakan pada selamatan ini adalah Surat Yusuf, dengan harapan agar kelak bayi yang akan dilahirkan berparas dan berperangai seperti Nabi Yusuf dalam keluhuran budi dan akhlaknya, kesabaran dan kepatuhannya kepada orang tua.

Sanak keluarga kaum ibu yang masih muda dan gadis-gadis bertugas menyiapkan penganan berupa kue-kue, seperti dodol, wajik, uli, dan lain-lain. Juga kadang dibuat nasi tumpeng dengan lauk pauknya dan sayur urapan.

Tamu-tamu lainnya termasuk para tetangga ikut terlibat se¬bagai undangan. Mereka hadir untuk berpartisipasi dan ikut me¬manjatkan doa bagi si ibu yang hamil serta bayi yang dikandung¬nya. Semua hadirin yang terlibat dalam upacara ini hadir sesuai yang dijadwalkan.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Menjelang usia kandungan tujuh bulan, si suami dan istri sudah mulai bersiap-siap untuk merencanakan upacara "Nujuh Bulanin". Rencana ini segera diberitahukan kepada orang tua kedua belah pihak, dan penye¬lenggaraannya dapat dikerjakan bersama-sama pula. Rencana ini biasanya mendapat dukungan dan diselesaikan secara gotong royong, hal ini karena ikatan kekeluargaan yang sudah erat di antara mereka.

Bila sudah tiba waktunya, mereka mempersiapkan segala yang diperlukan, seperti mempersiapkan bahan untuk membuat rujak yang terdiri dari 7 macam huah-buahan, yaitu : buah delima, mangga muda, jeruk merah (jeruk Bali), pepaya Mongkal, bengkuang, kedondong, ubi jalar, serta bumbu rujak yang terdiri dari gula merah (gula jawa), asam jawa, cabe rawit, garam, terasi, dan lain-lain.

Buah delima jangan sampai ketinggalan, begitu juga jeruk bali merah. Menurut mereka, buah delima yang masak dan berwarna merah akan membuat bayi yang akan dilahirkan kelak sangat menarik dan disenangi orang. Jeruk bali merah mempunyai maksud tersendiri. Jeruk merah biasanya rasanya manis dan enak dibuat rujak, dan bila dikupas kulitnya mudah terkelupas. Hal ini diumpamakan agar bayi yang akan dilahirkan kelak akan mudah dan lancar serta tidak mengalami kesulitan, semudah mengupai jeruk merah tersebut.

Untuk keperluan mandi disiapkan tempat air. Orang Betawi dulu menggunakan "jolang" berbentuk lonjong dan terbuat dari kaleng atau seng, sekarang dipergunakan ember plastik yang ber¬ukuran cukup besar. Ke dalam ember itu diisikan 7 macam bunga yang harum baunya, seperti : bunga mawar merah, mawar putih, melati, kenanga, cempaka, sedap malaria, dan bunga tanjung. Dipilihnya jenis-jenis bunga ini karena banyak digemari orang, dengan harapan bayinya kelak juga akan disenangi orang-orang di lingkungannya.

Selain tujuh macam bunga, untuk mandi juga dipergunakan 7 helai kain batik dan baju kebaya (blouse) 1 potong, telur ayam kampung 1 butir, dan minyak wangi. Air untuk mandi digunakan air yang bersih dan diambil dari tujuh mata air atau tujuh sumur.

Untuk keperluan "ngorog" atau "ngirag" perlu disediakan kembang dan beberapa mata uang lobam ratusan atau lima pu¬luhan serta kain putih sebanyak kurang lebih satu meter. Kembang yang dipakai sama dengan kembang yang digunakan untuk mandi. Kembang dan uang logam digulung longgar dengan kain putih, seperti orang menggulung tembakau dengan kertasnya. Gulungan kain putih yang berisi kembang dan uang logam tadi dismpan dahulu untuk dipergunakan nanti setelah acara mandi.

Sesajen yang ditempatkan pada buah bakul berisi antara lain: beras 3 liter, sebutir kelapa, garam satu bata, dan bumbu dapur (cabe, bawang, terasi, kunyit, dan lain-lain). Bakul sesajen di¬tutup dengan sehelai kain putih.

Sedangkan perlengkapan di atas, yang tidak boleh dilupakan ialah kemenyan dan perasapannya. Asap kemenyan dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan magis sebagai media untuk dapat berhubungan dengan alam semesta. Selain itu juga mempunyai makna untuk memanggil roh nenek moyang mereka di mana diharapkan roh tersebut akan menjaga anak cucunya dari segala gangguan makhluk halus.

Jalannya Upacara
Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, seorang ibu wakil dari pihak keluarga yang punya hajat menyampaikan sambutan dan menjelaskan maksud penyelenggaraan upacara tersebut. Acara dilanjutkan dengan pengajian dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran, terutama Surat Yusuf, serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi yang akan lahir kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai paras yang rupawan.

Selesai pembacaan doa-doa, lalu air putih di dalam gelas yang telah dipersiapkan sebelumnya dan diletakkan di tengah-tengah ibu-ibu yang tengah mengaji, diminumkan kepada calon ibu yang diselamatkan, dengan harapan agar bayi yang dikandungnya dapat lahir selamat dan lancar tanpa aral rintangan.

Dukun beranak yang memegang peranan di sini menggandeng si ibu hamil menuju ke tempat mandi atau halaman rumah yang akan dipakai untuk tempat memandikan, diikuti oleh kaum Ibu Iainnya. Di tempat ini si ibu hamil didudukkan di atas kursi dengan baju lengkap dan kain sedikit dilongarkan. Ibu dukun mulai mengucapkan "Bismillaahirrakhmaanirrakhim", lalu di¬ikuti dengan membacakan doa-doa dan mantera yang diucapkan di dalam hati. Setelah itu dukun beranak itu memegang ubun-ubun kepala si ibu hamil dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang gayung yang dicidukkan ke dalam air kembang lain diguyurkan di atas kepala si ibu hamil, kemudian diulang sampai tujuh kali hingga sekujur tubuh si ibu hamil basah kuyup. Setelah itu kain dan baju si ibu hamil diganti yang baru.

Tugas siraman kedua diserahkan kepada suami si ibu hamil. Dengan mengucapkan "Bismillaahirrakhmaanirrakhim" si suami pun mengguyurkan air ke kepala istrinya. Selanjutnya berturut¬turut dilakukan oleh ibu, mertua, dan kerabat wanita si ibu hamil hingga seluruhnya berjumlah 7 orang. Selesai acara siraman, si ibu hamil lalu mengeringkan badan dan rambutnya dengan handuk.

Selanjutnya si ibu hamil berdiri dengan posisi kedua kaki agak melebar dan kainnya agak dilonggarkan sambil kainnya dipegangi oleh ibu-ibu yang lain, sehingga tampak seolah-olah si ibu hamil itu berada dalam kurungan kain. Kemudian dukun beranak me¬ngambil sebutir telur yang diletakkan di dalam air kembang. Telur itu diletakkan di ubun-ubun si ibu hamil. Sambil tetap digenggam, telur itu seolah-olah digelindingkan dari kepala sampai ke dada dan perut si ibu hamil. Sebelum telur diluncurkan, si dukun mengucapkan mantera yang berbunyi :

"Assalaamualaikum, waalaikum salam Sami Allah nutup iman
Masuk aken si jabang bayi
Masuk aken si putih
Si jabang bayi rep sirep
sing idup putih"

Mengucapkan mantera di atas oleh dukun disebut "disampur¬nain". Selesai membacakan mantera, telur kemudian diluncur¬kan, lalu dijatuhkan hingga pecah. Dengan demikian, maka selesailah tahap kedua upacara "Nujuh Bulanin".

Selanjutnya si ibu hamil diberi handuk dan berganti pakaian dengan kain yang baru, dibimbing oleh dukun berjalan menuju ke dalam kamar untuk "dirorog". Acara ini dilaksanakan di dalam kamar yang tertutup. Pada acara ini yang ada hanya dukun ber¬anak dan si ibu hamil saja. Minyak kelapa dan kain putih sudah tersedia untuk acara "ngorog" ini. Mula-mula si ibu hamil disuruh tidur terlentang, perutnya diperiksa oleh si dukun. Bila terdapat kelainan pada kandungannya maka sang dukun dapat membetul¬kannya, namun apabila normal kandungannya cukup diusap-usap beberapa kali sebagai syarat sambil membaca mantera yang berbunyi :

"Assalamualaikum,
Sekarang si jabang bayi lu ditutupi bulan
supaya lu selamet menjadikan orang bener
nanti kali udah waktu medal
di surga yang lempeng, yang bener"

Kemudian dukun beranak "mengorog-orognya" dengan cara mengurut bagian tubuh dari atas bahu sampai ke bawah berulang kali hingga tiga kali. Selesai dirorog, si ibu hamil berpakaian kembali secara lengkap dan berhias menurut kebiasaannya. Se¬lanjutnya si ibu hamil bersama dukun beranak ke luar dari kamar dan disalami oleh para kerabat yang hadir, sekaligus memberi doa restunya, lalu duduk bersama menunggu acara makan.

Selesai acara makan bersama, tahap selanjutnya acara memba¬gikan rujak oleh si ibu hamil kepada para tamu yang hadir. Ru¬jakan terdiri dari 7 macam buah-buahan, diberi bumbu gula asam serta cabe rawit. Para kerabat dan para tamu akan mencicipi dan menilai rasa rujak buatan si ibu hamil. Bila rujak terasa sangat enak dan berkenan di hati, mereka meramalkan bahwa si bayi kelak adalah seorang anak perempuan. Sebaliknya bila rujak terasa pedas, maka diramalkan bayi yang akan lahir adalah laki-laki.

Demikian, upacara ditutup dengan makan rujak bersama-¬sama. Selesai acara makan rujak, para tamu pun kembali ke rumahnya masing-masing. Waktu ibu dukun mau pulang, diantar oleh keluarga si ibu hamil di depan rumah, sambil menyerahkan sajen, satu kain basah bekas mandi nujuh bulan, uang, dan ma¬kanan serta lauk-pauknya.

Pantangan-Pantangan yang Harus Dipatuhi
Menurut kepercayaan masyarakat Betawi selama istri sedang hamil berlaku larangan-larangan yang menurut istilah mereka disebut "pemali". Pantangan ini tidak boleh dilanggar kalau ingin persalinan berlangsung dengan lancar dan selamat kelak. Dengan demikian, maka suami istri harus saling mengingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang terlarang.

Bagi suami dan istrinya yang sedang hamil berlaku pantangan¬-pantagan antara lain :

Tidak boleh keluar rumah pada waktu magrib. Tidak boleh duduk diambang pintu.

Tidak boleh mandi setelah dan pada waktu magrib. Tidak boleh mengisi kapuk ke dalam bantal/guling. Tidak boleh membunuh binatang.

Tidak boleh menyembelih hewan, misalnya ayam, kambing, dan lain-lain.

Tidak boleh mencela bentuk-bentuk yang aneh, terutama apabila hal ini terdapat pada seseorang, misalnya kaki pincang, mata buta, bibir sumbing, dan cacat tubuh lainnya.

Suami dan istri yang hamil selama bayi di dalam kandungan diharapkan agar selalu berbuat kebajikan, dermawan, selalu ber¬ibadah dan mencari kegemaran yang bermanfaat, seperti member¬sihkan rumah/pekarangan, memperbaiki rumah, dan lain-lain. Menghormati orang lain dan selalu berbuat hal yang disenangi oleh orang tuanya. Juga diharapkan agar suami selalu memenuhi kehendak istri yang sedang hamil.

Lambang-lambang atau Makna-makna yang Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara:
Pada umumnya setiap benda yang digunakan dalam upacara mengandung arti atau makna khusus sesuai dengan konsep alam pikiran masyarakat pendukungnya. Adapun lambang-lambang yang terdapat dalam upacara "Nujuh Bulanin", dapat dikemukakan sebagai berikut:

Doa, lambang penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama yang dianutnya.

Mantera, lambang kekuatan untuk menundukkan makhluk halus, orang yang akan membacakan mantera dianggap orang yang mempunyai kekuatan untuk menundukkan roh halus.

Bunga tujuh macam, mengandung arti tujuh sifat: hidup, kekuatan, penglihatan, pendengaran, perkataan, perasaan, dan kemauan.

Tujuh macam buah-buahan yang dibuat rujakan melambangkan rasa kekeluargaan, kegotongroyongan masyarakat, kesu¬buran, dan kemanisan hidup.
Kain batik dimaksudkan untuk memberikan perlengkapan dan pakaian suci dan bersih bagi roh-roh halus.

Air yang dipakai untuk menyiram (memandikan si ibu hamil) mempunyai makna kesucian, air adalah merupakan salah satu unsur asal manusia.

Kain Putih, merupakan lambang kesucian hati.
Telur ayam, merupakan lambang kebulatan tekad disertai keikhlasan dalam menerima segala macam pemberian dari Sang Pencipta.

Kemenyan, merupakan lambang magis sakral, asap kemenyan yang wangi mengundang hadirnya makhluk halus yang baik dan mengusir makluk halus yang jahat, agar yang hamil diber¬kati dan dilindungi keselamatannya.

Beras putih, mempunyai makna keselamatan hidup di dunia.
Nasi tumpeng dan lauk pauknya, mempunyai makna suatu pengharapan adanya rasa tenteram bagi keluarga.

Minyak kelapa, melambangkan pelicin, yang berarti segala apa yang diminta akan terkabul.

Kue-kue tradisional terutama yang berasal dari padi menjadi beras lalu menjadi tepung dan diberi gula merah, melambang¬kan suatu cita-cita, bahwa setiap tanaman akan semanis kue-kue tersebut.

Sesajen, merupakan simbol upacara yang mempunyai makna permohonan kepada roh nenek moyang, agar dapat melindungi dan terhindar dan segala macam bahaya, penyakit, maupun kelainan dan kandungan, dan terhindar dari gangguan makhluk halus.

Demikianlah, lambang-lambang dan makna simbol sebagai kunci yang digunakan oleh masyarakat Betawi.

Sumber :
Yunus ahmad H., dkk. 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Foto : http://img12.imageshack.us